Angin bertiup semilir seiring pembicaraan Antok dan Budi perihal tour guide entrepreneurship. Sambil tiduran di teras belakang rumah, sesekali mereka bangun dan menikmati es teh hingga tandas. Kedua wajah dua mahasiswa tingkat akhir tersebut gosong kemerahan. Mereka baru pulang dari ber-snorkeling ria di Karimun Jawa. Setelah beberapa bulan lalu bersama teman-teman yang lain menyelam di Lombok. Dua sahabat itu memang kecintaan banget dengan kegiatan traveling.
“Menurutmu..,” tiba-tiba Antok bersuara setengah mengantuk. “Kita bisa nggak membikin usaha sendiri yang ada hubungannya sama traveling?”
“Coba bikin usaha tour guide, yuk?” sambut Budi cepat.
Antok menjadi antusias. Padahal ia hanya iseng saja melontarkan pertanyaan. Di sela-sela mengerjakan skripsi, kerap ia memikirkan usaha apa yang bisa ia wujudkan setelah lulus nanti. Bekerja kantoran sudah menjadi pilihan aman. Gaji bisa dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan ditabung untuk masa depan.
Tapi, jiwa bertualang yang dimiliki Antok tak bisa dikekang. Ia tetap ingin melakukan traveling. Hanya saja, ia kudu berpikir selangkah lebih maju. Bagaimana caranya supaya bisa tetap berkelana ke tempat-tempat wisata tapi juga menghasilkan? Menjadi seorang tour guide terdengar seperti sebuah ide yang bagus.
“Aku juga sudah sempat kepikiran,” lanjut Budi. “Tempat wisata di Indonesia ini hampir tersebar rata di setiap propinsi. Kalau memang belum sanggup ke Raja Ampat, ya kita pergi ke lokasi yang lebih dekat. Toh, semuanya tempat wisata punya keistimewaan masing-masing. Itu sudah modal banget, tuh.”
Antok kemudian menyebutkan lokasi-lokasi wisata yang sudah pernah mereka kunjungi; mulai dari darat, laut, dan gunung.
“Nah pengalaman kita bolak-balik bertandang ke Gunung Bromo misalnya, sampai hapal rute, tahu tempat menginap, dan mengatur waktu yang tepat untuk melihat sunrise dan sunset juga sudah jadi modal berikutnya,” sambut Budi penuh semangat.
Antok mulai semangat. “Kayaknya kamu sudah mencari tahu tentang jadi tour guide. Kiat-kiat menjadi tour guide entrepreneurship?”
Budi menoleh sembari meringis. “Sudah lama aku kepikiran; gimana caranya hobi yang kita senang bisa menghasilkan duit. Tour guide entrepreneurship bisa jadi pilihan paling mudah untuk langsung dipraktikkin dalam waktu dekat.”
“Kira-kira kapan kita bisa mulai usaha itu?” tanya Antok. “Rasanya sudah enggak sabar. Kalau saja enggak ingat skripsi yang kudu diselesaikan, rasanya sudah kepengin langsung dimulai besok aja.”
Budi ikut ketawa bareng Antok. “Kita kudu menyelesaikan tugas akhir. Tapi, sebenarnya semua itu bisa disiapin dari sekarang. Syarat pertama mendirikan usaha tour guide kecil-kecilan itu kudu melakukan survei lokasi. Nah, kita sudah mensurvei banyak lokasi dengan bertraveling ke sana. Bahkan sampai berkali-kali.”
“Wuow,” seru Antok. “Pengalaman pun bisa jadi modal?”
“Tentu saja,” jawab Budi. “Banyak lokasi wisata yang harus dikunjungi untuk mendapat data yang akurat. Kamu punya catatan hotel, nama pemandu, harga tiket masuk, dan yang lainnya, kan?”
Antok mengangguk. “Kukira hobi mengarsip dan membikin catatan perjalanan itu enggak penting. Baru kali ini aku tahu kalau membuat dokumentasi tercatat itu penting. Karena kenyataannya itu bisa dijadikan salah satu modal dalam menopang perihal tour guide entrepreneurship”
“Yup. Sama pentingnya seperti mencatat pemasukan dan pengeluaran uang. Misalnya dengan menggunakan aplikasi keuangan AKUNbiz. Ha-ha-ha,” sahut Budi. “Stt atau back to topic, kita masih harus nambahin beberapa poin di catatanmu itu: tanggal merah nasional, long weekend, lokasi favorit, dan perubahan cuaca dan musim.”
“Oke.” Antok berjanji akan segera mengkompleti catatan perjalanannya.
“Kurasa kita juga perlu riset lebih mendalam,” tambah Budi. “Agar calon pelanggan puas dengan pelayanan kita sebagai tour guide, kita harus menambah pengetahuan. Seperti misalnya sejarah lokasi tersebut, pantangan di sebuah tempat, makanan khas, kerajinan khas yang mungkin bisa dipelajari oleh wisatawan yang menggunakan jasa kita kelak.”
“Betul juga.” Antok mengangguk-angguk. “Kayaknya kita perlu berkeliling lagi untuk keperluan mendata. Sebaiknya dilakukan sekarang, mumpung usaha kita belum berjalan. Ya, nggak?”
“Betul. Jadi, saat kita launching jasa pelayanan tour guide, semua sudah siap tinggal pilih paket-paket wisatanya.” Budi melanjutkan penjelasannya. “Langkah berikutnya adalah berlatih.”
“Karena practise makes perfect,” tambah Antok mengerti. “Mungkin kita bisa menyusun program atau paket-paket wisata. Lalu, undang teman-teman sendiri untuk kita guide tour-in secara gratis. Mereka hanya perlu memberikan feedback, kritikan, atau masukan supaya paket jasa kita lebih komplet dan sempurna.”
“Ma-shook…!” Budi mengacungkan jempol ke udara. “Yang perlu disiapin berikutnya akan ngiklan! Ngiklan alus-alusan saja. Kalau istilah sekarang menyebutnya soft selling. Dokumentasi foto dan narasi foto lokasi traveling kamu simpan dengan baik.”
“Yoi.” Antok turut mengacungkan jempol ke udara.
“Sipp. Kita siapkan medsos dan konten-kontennya. Kudu diunggah secara rutin. Caption atau narasi foto kudu menarik. Selain pemandangan, kita juga memberikan informasi tentang transportasi, budaya unik, kuliner khas, dan lain-lain. Pokoknya jangan membosankan isi feed media sosial kita.”
“Jangan lupa cantumin nomor kontak kita, Bro. Alamat pos-el –pos elektronik atau e-mail di halaman bio.”
“Tentu saja.”
“Jadi,” semangat Anton sudah sampai ubun-ubun. “Kapan segera kita realisasikan rencana kita ini?”
“Sesegera mungkin. Eh, tapi… setelah ini, deh,” jawab Budi sayup. “Mataku berat. Mana anginnya semilir banget lagi. Aku mau tidur siang dulu.”