Mindset Entrepreneur | Tubuh kok rasanya kayak digebukin setiap hari! Setiap pulang kerja! Gawe di kantor rasanya kayak kerja rodi ngebangun rel kereta api. Aduuh… keluh Adit begitu tiba di rumah. Ia membayangkan seandainya bisa gawe sendiri alias jadi berwira usaha sendiri, pasti rasanya
enak bukan main. Ia bisa mengatur jam kerjanya sendiri, ia tak harus lembur setiap waktu, tak harus bermuka manis dan cenderung cari muka ke atasan, dan lain-lain, dan lain-lain.
Adit segera membersihkan diri. Guyuran air saat mandi lumayan mengusir penat. Sembari menggosok rambutya yang masih basah karena keramas, ia membikin segelas cokelat panas. Sambil meniup-niup minuman, ia duduk bersandar di sofa di ruang tengah.
Tangannya menggeser-geser layar ponsel – yeah, namanya juga jomlo. Pulang kerja hanya berteman ponsel.
“Yaa, tapi seenggaknya aku jomlo berkualitas,” seru Adit kayak orang kurang waras. Bicara keras sendiri demi membalas sindiran hati kecilnya. Kalau enggak digituin memang suara hati kecil yang paling murni enggak akan berhenti nyinyir.
Tapi memang benar, sih. Adit menggunakan ponsel tidak untuk membuka aplikasi tinder –aplikasi mencari kencan, atau Facebook untuk saling membalas komen receh dengan teman lain, atau mantengin twitter untuk mengikuti twit war antar-selebtwit dengan warganet budiman yang merasa paling benar sedunia – padahal tingkah laku mereka tak lebih seperti people whom living in a nutshell.
Adit mencari artikel tentang bekal-bekal yang harus dimiliki seorang pengusaha atau entrepreneur. Memang ia enggak akan langsung resign bekerja dan memulai karier baru sebagai wira swasta. Semua rencana baru harus disiapkan dengan baik dan matang-matang.
Begitu membaca artikel tentang rahasia jadi pengusaha sukses, Adit langsung ter-“Wow, wow, gila. Kira-kira aku mampu nggak, ya?”
Kenapa bisa begitu? Karena tanggung jawab seorang entrepeneur tak seperti tanggung jawab seorang karyawan kantor, yaitu lebih gede. Karena, lebih banyak yang harus di-handle oleh seorang entrepreneur.
Adit jadi manggut-manggut sendiri, “Emang bener, jadi entrepreneur itu artinya kudu siap keluar dari zona nyaman pekerja.” Ia jadi bergidik sendiri. Dari situ ia menyadari bahwa sesungguhnya ia belum siap mandiri. Badan boleh berasa remuk sehingga ingin bikin usaha sendiri saja, tapi baru membaca satu poin saja keder sudah keyakinannya.
Bertanggung jawab terhadap segala keputusan yang diambil adalah poin kedua yang menjadi mindset entrepreneur. Untuk hal ini Adit masih bisa menerima. Bagaimanapun, setiap orang memang harus bertanggung jawab pada pekerjaannya sendiri. Tapi, untuk seorang entrepreneur tanggung jawab itu ditambahi pada setiap keputusan yang diambil.
“Ooh, itulah mengapa seorang wirausahawan sering disebut sebagai bos bagi dirinya sendiri, ya? Ialah yang pengambil keputusan, ia pula yang kudu bertanggung jawab terhadap segala risiko dari pengambilan keputusan tersebut.” Adit menyeruput minumannya. “Untuk poin yang ini bisa kayaknya, he-he.”
Berikutnya, di dalam mindset entrepreneur juga harus ada visi jangka pendek dan jangka panjang. Keduanya kudu berjalan seiringan.
“Hemm…,” gumam Adit. Sebagai pekerja, ia lebih terbiasa dengan visi jangka pendek. Apa tugasnya, ya itu yang bakal dikerjakannya. Tapi, sebagai entrepreneur, ia harus melatih sebuah kebiasaan baru; selain jangka pendek, ia juga kudu punya visi jangka panjang.
“Enggak nyaman itu zona nyaman?” kening Adit berkerut saat membaca poin berikutnya. Begitu membaca penjelasannya, barulah laki-laki itu manggut-manggut. “Kenapa zona tidak nyaman itu kudu dijadikan sebuah ‘kenyaman’? Ya, karena seorang pengusaha wajib punya pikiran out of
the box. Ia kudu punya ide liar, tapi juga kudu punya langkah strategis untuk ngewujudinnya.”
Out of the box itu yang akan membikin diferensiasi atau pembeda dengan usaha milik orang lain.
“Fiiuuh… kukira mudah dan enteng aja jadi entrepreneur, ternyata enggak juga.” Adit terus membaca poin berikutnya. “Menjadi seorang entrepreneur itu artinya kudu mau dan mampu untuk terus belajar. Terus alias tanpa henti.”
Tanpa sikap sudi menjalani proses pembelajaran yang tanpa henti, bisnis yang dikerjakan bakal punya potensi mandek di tengah jalan. Iya juga, sih, secara perubahan situasi dan perkembangan teknologi bisa begitu pesat. Kalau tidak mau belajar, ya tidak berkembang.
Poin terakhir yang dibaca Adit, membuatnya keder lagi. “Ingin menjadi seorang entrepreneur; ya mulai usahamu dari sekarang!” gumamnya. “Mulai dari sekarang… yaaa…. hemm….” Masih begitu banyak keraguan berkecamuk dalam hatinya. Ia sadar apa itu artinya; ia belum sepenuhnya siap menjadi seorang entrepreneur. Karena dengan menyimak ulang perihal mindset entrepreneur itu, ia menyadari, kalau ternyata selama ini ia hanyalah seorang tukang ngeluh dengan mimpi yang terlalu tinggi di awang-awang.
Well, mimpi yang terlalu tinggi bisa diraih dengan niat dan usaha yang dipupuk mulai dari sedikit. Adit selama ini ternyata belum melakukan apa-apa untuk mengusahakan keinginannya.