Usai melihat tayangan infotainment di televisi yang membahas perihal mengelola keuangan untuk pekerja seni serta artis, kepala Diski rasanya puyeng sekali. Apalagi sepulang sekolah tadi Noi, anak perempuan semata wayangnya, bercerita. Tugas sekolah hari ini sedang membahas tentang cita-cita. Dengan lantang dan gembira, Noi menjawab, “Aku ingin jadi artis, Ibu! Ingin jadi pemain film!”
Diski akan mendukung setiap cita-cita anaknya. Hanya saja, ia tetap punya kekhawatiran. Profesi artis – baik musisi, aktor, pemain film, atau yang lainnya – pendapatannya memang banyak. Tapi, tidak pasti. Ketidakpastian pendapatan ini mengkhawatirkan hatinya. Kalau sedang laku, dapat banyak tawaran main film, tentu akan banyak uangnya. Tapi, kalau sedang atau sudah tidak laku? Bokek setiap hari, deh.
Diski harus menyiapkan sejak dini. Hal pertama yang paling ‘menakutkan’ dari menjadi artis adalah ketidakpastian pendapatan. Pemasukan tak selalu dalam jumlah yang besar, konsisten, dan ada setiap minggunya. Menjadi selebritis atau artis harus siap hidup dalam dua kondisi: punya uang dan bokek.
Kondisi punya uang pun bila tak berlebih juga tak berarti baik. Pendapatan yang baru saja ditransfer bisa jadi hanya akan habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membayar utang. Untuk pemenuhan kebutuhan bulan berikutnya, masih saja puyeng harus mencari tambahan dari mana.
Haduh, haduh… bagaimana cara Diski menjelaskan bahwa berprofesi sebagai pekerja seni itu banyak risikonya, ya – terutama risiko dalam hal finansial. Beberapa artikel keuangan segera dikumpulkan oleh Diski. Pemahaman bahwa memiliki cukup
tabungan dan investasi bagi pekerja seni sangatlah penting. Belum lagi, asuransi kesehatan dan dana pensiun.
“Lalu… lalu… lalu….,” Diski terus membaca artikel tentang cara mengelola keuangan untuk pekerja seni, termasuk pengelolaan keuangan untuk artis. “Ahh, ini dia; solving the variable income problem. Solusi untuk pemasukan yang nggak pasti.”
“Langkah pertama cara mengelola keuangan untuk pekerja seni adalah menggaji diri sendiri,” gumam Diski membaca artikel pada layar laptop. “Bila mendapat uang dalam jumlah banyak, jangan buru-buru dihabiskan. Tapi, sisihkan untuk pemenuhan kewajiban seperti membayar utang, tabungan, dan investasi. Baru kemudian sisa uang tersebut dibagi menjadi 12, yang artinya 12 bulan gajian. Hal ini akan membantu seorang pekerja seni kehabisan uang pada bulan-bulan tertentu.”
Bagaimana kalau ada tambahan pemasukan lagi?
“Lakukan hal yang sama. Bagi menjadi 12 bulan setelah dikurangi membayar kewajiban. Hasil 12 bulan tersebut bisa ditambahkan pada tahun yang sama atau tahun berikutnya.” Diski manggut-manggut. “Betul juga.”
Mata Diski bergerak menuju artikel lainnya. “Oh, ternyata nggak seperti pekerjaan lainnya. Dalam berproses pun, seorang pekerja seni juga membutuhkan biaya yang harus ditanggung sendiri. It costs money to make money, yang antara lain berupa material, latihan, dan biaya pemasaran/marketing. Belum lagi untuk menjaga kesehatan – karena modal pekerja seni itu ya
dirinya sendiri. Itu artinya butuh uang lebih ya, setelah membayar kewajiban dan ‘gaji’ tiap bulan.”
Ternyata banyak sekali yang harus dilakukan yang ada hubungannya dengan pengelolaan finansial seorang artis atau pekerja seni. Hidup glamor memang menjadi sebuah mimpi dan cita-cita yang menyenangkan. Tapi, di balik itu semua, harus ada pengelolaan finansial yang ketat dan baik.
“Last but no least, bikin bujet dan pencatatan keuangan. Berpesta atau membeli pakaian untuk kepentingan bersosial terkadang membikin uang habis dengan cepat. Kebanyakan pekerja seni berpikir; ah, setelah ini aku bakal dapat bayaran gede lagi, kok. Santai…’. Kesadaran yang kayak begitu harus disingkirkan jauh-jauh.”
Oke, batin Diski.
“Pencatatan pemasukan dan pengeluaran harus dan wajib dilakukan oleh seorang pekerja seni. Sehingga ia bisa mengontrol keuangannya dan tak akan ada lagi cerita seorang seniman yang miskin atau bokek.”
Kini hati Diski tak secemas sebelumnya. Hal pertama yang akan diajarkan adalah pemahaman bahwa menjadi artis atau pekerja seni bukanlah pekerjaan yang bisa dianggap sepele –terutama bagian pengelolaan keuangannya. Ia juga akan mengajarkan mencatat pemasukan dan pengeluaran uang pada anaknya sejak dini.
Dan ketika kini, Diski sendiri sudah menggunakan aplikasi keuanagn semacam AKUNbiz untuk pencatatan finansial bulanannya, maka pada anaknya, bisa jadi akan ia ajarkan pula pencatatan keuanagn, meski itu dilakukan secara manual terlebih dahulu.