Andi merasa tertarik ketika mendengar penjelasan kawannya perihal literasi keuangan. Ada satu pengetahuan yang benar-benar baru diketahuinya sore itu, yang pertama; bahwa belajar literasi tak hanya sebatas pada kemauan untuk menjadi penulis, yang kedua; melek finansial juga termasuk dalam program literasi dasar.
“Wow, literasi finansial?” tanya Andi setelah mendengarkan dengan tekun. “Aku kira literasi yang selalu diurusin Kemendikbud cuman berhubungan sama baca tulis saja.”
“Ya, memang,” jawab Jundan. “Pengertian dasar literasi kurang lebih seperti itu. Kalau mau bicara lengkapnya, literasi sebenarnya merupakan kemampuan membaca, berbicara, menulis, berhitung dan kemampuan yang lain-lainnya. Kemampuan ini biasanya didapatkan dari keluarga sebagai pihak paling dekat, baru kemudian sekolah, dan masyarakat.”
Andi mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Sore itu ia dan Jundan tak sengaja bertemu di kafe. Masing-masing baru pulang bekerja, pengin ngopi-ngopi sebentar, eh malah amprokan. Jadilah mereka mengobrol tentang hal asyik yang baru diketahui Andi; literasi finansial? Keuangan pun masuk dalam lingkup literasi? How come?
“Jadi begini, literasi dasar itu ada enam hal. Yaitu literasi baca tulis, literasi numerik –kemampuan matematika misalnya, kemudian literasi sains, literasi digital – kemampuan IT juga sangat penting untuk dipelajari dan dikuasai lho, literasi kewargaan, daan… literasi finansial.”
“Literasi finansial dimasukkan dalam kemampuan dasar soalnya anak-anak di sini jarang mendapatkan pendidikan keuangan kali, ya?” tanya Andi nyengir.
“Hmmm, iya kayaknya, yaa….,” jawab Jundan.
“Jadi, penjelasan literasi finansial sendiri itu apa?” tanya Andi.
“Simpel saja sebenarnya,” jelas Jundan. “Seseorang yang punya kecakapan dan pemahaman tentang konsep, ketrampilan, motivasi, dan juga risiko yang ada hubungannya dengan finansial atau keuangan.”
“Kenapa literasi keuangan alias literasi finansial itu jadi penting?” Andi juga menyadari bahwa pendidikan finansial bahkan kesadaran melek finansial memang agak kurang diajarkan sejak dini.
“Ya biar seseorang itu bisa membuat keputusan yang efektif untuk ningkatin kesejahteraan finansialnya. Bisa dimulai dari kesejahteraan finansialnya sendiri dulu, deh. Baru kemudian membantu peningkatan kesejahteraan finansial masyarakat sosial.” Jundan mencoba mengingat-ingat. “Tahu nggak, ada empat tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia?”
“Oh ya?” tanya Andi tertarik. “Apa aja tuh tingkatannya?”
“Level pertama well literate, terdidik literasi finansial dengan baik. Orang-orang ini punya kepercayaan yang baik tentang produk dan jasa keuangan. Ia juga terampil menggunakan dua tools tersebut. Level berikutnya sufficient literate. Nah level ini kurang lebih hampir sama dengan yang tadi, plus mengerti tentang hak dan kewajiban yang terkait dengan produk dan jasa keuangan.”
“Level berikutnya apa?”
“Berikutnya adalah less literate dan not literate. Orang-orang yang termasuk dalam less literate ini hanya tahu tentang produk dan jasa keuangan. Cukup tahu saja, tapi tidak ada tindakan apa-apa. Nah, yang not literate ini adalah orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan, juga tidak menggunakan produk dan jasa keuangan sama sekali.”
“Wow…,” gumam Andi pelan. “Sayang sekali, ya, kalau sampai ada yang nggak punya pengetahuan literasi finansial sama sekali.”
“Yups. Penting banget untuk punya kemampuan dasar literasi keuangan. Orang yang punya kemampuan mengelola keuangannya dengan baik, atau well literate, biasanya pandai mengatur kendali dan mengelola kondisi keuangan pribadinya. Ia punya banyak sudut pandang dalam pengelolaan uangnya; bisa ditabung atau diinvestasikan. Selain itu, ia bisa memanfaatkan uang dengan cara yang baik agar tidak terseret jadi budak uang.”
“Mending jadi budak cinta ya, Bro,” gurau Andi.
“Ha-ha- ha. Nggak jadi budak siapa-siapa aja, deh. Lebih enak jadi manusia merdeka,” tanggap Jundan.
“Manusia merdeka finansial karena punya kemampuan dan pengetahuan dasar literasi finansial a.k.a keuangan oke banget, tuh.”
“Ha-ha- ha. Yoi.”