Belajar mengelola krisis menjadi hal yang belum banyak orang pelajari. Padahal baik dilihat dari sisi pribadi maupun komunal, pengetahuan itu merupakan hal penting dan tak bisa diabaikan lagi. Perusahaan yang besar dan bonafits bisa jadi telah menerapkan standar mengelola krisis tersebut. Misalnya dengan membentuk tim krisis bernama LST alias Life, Safety and Security Team, ataupun dengan mendirikan satu divisi yang memang sigap dalam hal penanganan krisis.
Karena belajar mengelola krisis ini menjadi penting, maka tak salah jika ada banyak ilmu yang diperoleh darinya. Baik dari segi teknis lapangan maupun teori dan ilmu pengetahuan. Teknis lapangan misalnya adalah mengetahui dan juga bisa mempraktekkan sikap dalam menghadapi bahaya. Sigap memegang alat pemadam kebakaran, cekatan dalam memilih jalan yang sifatnya “emergency”, dan masih banyak lagi. Sedangkan mengenai teori dan ilmu pengetahuan, bisa mengetahui langkah ketika menghadapi bahaya. Misalnya segera menelepon aparat keamanana, mendatangkan ambulan, berkoordinasi dalam internal tim, dan lain sebagainya.
Dari beragam ilmu, teori, dan sekaligus praktek tersebut, wajar ketika belajar mengelola krisis ini bisa dijadikan pijakan dalam mempelajari sikap kepemimpinan seseorang. Baik dalam memimpin manajemen keuangan, memimpin tim kesehatan, atau bahkan memimpin satu usaha dengan posisi manajer, direktur, board direktur dan semacamnya.
Daftar Isi
Di bawah ini adalah tiga hal terkait pelajaran kepemimpinan yang bisa diterapkan sebagai leader guna membangun tim yang solid dan lebih kuat serta fleksibel dan dinamis.
Ketika kita sekolah ataupun kuliah (apapun jurusannya), biasanya telah ada banyak bekal pengetahuan yang kita dapatkan. Namun saat dihadapkan pada kondisi krisis, biasanya kita akan panik ataupun kalut. Karenanya, setelah bisa mengendalikan rasa panik tersebut, sila gunakan pula naluri ataupun insting yang ada pada diri kita ini.
Sebagai pemegang keukasaan eksekutif artinya adalah juga sebagai decisian maker. Karenanya, dalam koridor usaha pun bisnis memiliki tuntutan untuk selalu bisa memutuskan segala hal. Sedangkan yang melatarbelakani keputusan ini, biasanya adalah aats dasar perolehan angka dan fakta. Melihat kondisi tersebut memang tiada salahnya. Namun jangan pula lantas juga mengabaikan naluri yang ada pada diri. Percaya pada naluri ataupun insting ini menjadi hal yang penting karena ketika sikap mempercayai diri sendiri itu ada, maka sikap “menebak-nebak” menjadi sirna.
Sikap seperti ini menjadi efektif pasalnya sebagai pemimpin kita pun bisa mengatasi masalah secara langsung, tanpa ragu-ragu. Ketegasan juga bisa diterjemahkan ke dalam keyakinan. Ketika ada keyakinan pada keputusan yang mengarahkan pada hasil positif,maka tim secara tak langsung juga akan lebih cenderung menaruh kepercayaan dan keyakinan pada kita.
Keras kendornya suara, besar kecilnya suara tak selalu bergantung pada biologis seseorang. Bisa jadi yang badannya kecil malah suaranya kencang, atau malah sebaliknya. Namun itu semua tak begitu berarti ketika sebagai pemimpin hanya diam. Apalagi dalam menghadapi bahaya pun gejolak kemunduran. Belajar mengelola krisis adalah juga dengan belajar bersuara.
Artinya, sebagai pemimpin kita juga harus tahu kapan musti diam dan kapan wajib mengeluarkan suara. Semua itu dilakukan atas dasar tujuan yang hendak dicapai. Salah satu contoh suara harus dikeluarkan adalah ketika menghadapi pribadi yang ngeyel dan susah diarahkan. Seelbihnya adalah ketika memiliki langkah agar terhindar dari bahaya dan kebangkrutan.
Sebagai seorang pemimpin (dan sedang belajar kepemimpinan), dibutuhkan waktu untuk memantapkan melangkah dan mengambil inisiatif. Meskipun berbicara dan mengambil keputusan itu bisa menjadikan tantangan lain, namun hal ini merupakan keterampilan penting bagi pemimpin. Termasuk ketika memiliki ide untuk kemudian dibawa ke meja diskusi, berkomentar pada saat rapat, ataupun memberikan gambaran, saran atau bahkan kritik membangun. Hanya saja, tentu ide dan saran itu tak hanya berhenti di suara mulut saja, sudah semestinya contoh-eksekusi juga harus diberikan secara nyata.
Sebagaimana tersebut pada poin kedua di atas, bahwa ide, saran, kritik, dan juga masukan itu sudah selayaknya juga diaplikasikan. Artinya, sebagai perwujudan jiwa kepemimpinan juga musti ditunjukkan. Walaupun pada akhirnya keputusan itu salah.
Ingat, kita tak akan pernah tahu kalau keputusan itu salah ketika tanpa memiliki tindakan terlebih dahulu. Namun lebih dari itu, mengambil kesalahan itu sebagai pelajaran adalah penting. Karena dengan kesalahan, tentu kemudian akan bisa memiliki pandangan lain guna mengubahnya menjadi peluang. Kesalahan memang bisa saja terjadi, namun akan selalu ada masa untuk terus bertumbuh dan meraih keberhasilan.
Membuat keputusan terbaik seuai informasi akurat, kemudian bertindak dan tak berhenti pada ‘wacana’ yang dilanjutkan dengan tanggung jawab atas hasilnya, semua itu merupakan hal yang sudah selayaknya ada di tangan seorang pemimpin. Termasuk pemimpin dalam usaha dan bisnis Anda. [uth]