Daftar Isi
Namun yang tetap bisa eksis dalam memberlangsungkan usahanya kemungkinan besar hanyalah mereka yang mengerti sekaligus memahami fase bisnis yang ragamnya bisa dikategorikan ke dalam tiga hal ini. Ketiga fase itu adalah fase trend atau fase high, fase habit atau life style, dan fase culture alias budaya.
Hal yang dikatakan sebagai fase trend adalah fase sebuah produk yang kita jadikan usaha itu menemui nilai yang sedang tenar ataupun trending. Karena trending, maka banyak orang yang terjun dalam bisnis tersebut.
Sebagai contoh dalam fase trend itu antara lain adalah es kepal milo, atau usaha warnet pada zaman dahulu, yang sebelum itu terlebih dahulu juga trend dengan wartel. Karena fase ini memang sedang dalam tahap ‘terkenal’, tak pelak banyak oranng terjun berbisnis di sana.
Memang ketika sedang dalam masa trending, banyak orang akan merasakan nikmatnya. Jika ada di lini food and beverage khalayak konsumen pun akan menikmati rasanya yang enak, sehingga produk tersebut yang membelinya juga selalu mengantri. Namun perlu dicermati, bahwa bisnis dengan fase trend ini biasanya tak akan bertahan lama. Biasanya berdurasi dalam kisaran 6 bulan, 1 tahun, atau hingga maksimal dua tahun.
Meski begitu, ketika hendak naik ke fase berikutnya, fase trend ini sejatinya juga menjadi jalan yang tak bisa tidak, harus dilalui. Bagaimana mungkin bisa berlanjut ketika usaha itu di awalnya adem-ayem saja?
Di atas fase trend, ada fase habit (kebiasaan) ataupun fase life-style alias gaya hidup. Ketika produk bisnis sudah ada di fase ini, seharusnya dia telah berada pada kondisi aman, karena penjualannya bisa dibilang stabil. Hal ini bisa ditandai dengan beberapa hal yang antara lain adalah bertambahnya karyawan, bertambahnya outlet baru, dan market juga terlihat semakin besar.
Pada fase habit ini memang penjualan tak nampak meledak-ledak, namun bukan berarti sepi. Ia ada pada kondisi stabil serta tetap ada eksistensinya. Di samping itu hasil bisnisnya sudah dapat diprediksi. Tentu dengan catatan tak ada force majeure alias peristiwa tak dikehendaki, misalnya banjir, gempa bumi, kebakaran, dan hal lain semacamnya.
Fase tertinggi dari tiga fase bisnis adalah culture ataupun fase budaya. Lalu apa dan serpeti apa produk bisnis yang telah masuk ke dlaam fase kultur ini?
Dari tiga fase bisnis , sejatinya ada banyak produk yang masuk dalam fase kultur. Tak usah jauh-jauh berpikir tentang produk pisaunya milik Swiss, sushi khasnya orang-orang Jepang, ataupun samsung kebanggaan orang-orang luar sana. Di dekat-dekat kita sejatinya telah banyak dan merebak hal semacam itu.
Gudeg sebagai makanan khas orang Jogja, tape-peyem khas orang Bandung dan/atau Jawa Barat, Coto-nya orang Makassar, adalah tiga di antara banyaknya produk yang masuk dalam fase puncak di tiga fase bisnis ini. Dari sana kita bisa membelahnya lebih rigit, Gudeg Yu Jum bisa dijadikan contoh. Orang makan gudeg, meski itu lezat, tapi kalau belum menikmati Gudeg Yu Jum, bisa jadi orang tersebut masih ragu dengannya.
Demikianlah perihal tiga fase bisnis yang seolah hukumnya wajib dijalani bagi mereka yang mau sukses. Kuncinya, dalam usaha tak bisa hanya monoton dan adem-ayem saja, harus selalu ada inovasi agar produk yang dibisniskan mampu ber-evolusi ke fase berikutnya. Karena hal yang musti di ingat adalah, bahwa Fase kultur serta fase habit awalnya kudu melalui fase trend. Namun hal itu tak berlaku sebaliknya. Ada banyak produk trend yang tak berhasil berubah menuju fase habit, apalagi fase kultur. [uth]