Percakapan mengenai entrepreneur pada anak ini terjadi saat Rinda membaca surat kabar di hari Minggu yang tenang. “Apa
menurutmu penting mengajari anak kita kemampuan entrepreneur sejak dini, Yang?”
Heru, suaminya sedang membaca Bumi Manusia, sebuah novel yang sedang banyak dibicarakan karena hendak difilmkan dengan segala macam gimiknya. Promosi filmnya yang diduga banyak menggunakan gimik, bukan bukunya. Laki-laki itu mendongak. “Memangnya kenapa?”
“Enggak apa-apa, sih. Cuman aku kepikiran kayaknya anak kita terlalu banyak dijejalin banyak pelajaran di sekolah. Tapi, ilmu atau kemampuan bertahan hidup dan mencari solusi saat terkena masalah sepertinya kurang.” Rinda melipat koran yang urung dibaca hingga selesai.
“Aku jadi kepikiran, mungkin dengan mengajari anak kita kemampuan berwirausaha bisa memberikan sedikit bekal mandiri.”
“Aku pernah berjualan donat saat kelas 5 SD. Donat bikinan ibu yang biasanya dititipin ke warung, aku jual untuk teman-teman sekelas. Hasilnya lumayan…,” cerita Heru. Ia diam sejenak sebelum melanjutkan. “Aku juga pernah membantu paklik berjualan hasil panen ketela di pasar.”
Rinda mengangkat bahu. “Ya, itu. Setidaknya dengan mencoba berwira usaha, si anak akan mengerti kalau mencari uang itu tidak gampang. Saat mendapatkan banyak kemudahan dalam mencari duit pun, ia akan mengerti untuk menabung dan tidak boros.”
“Menurutmu penting mengajari anak kecil untuk berinvestasi atau membeli emas?” Rinda tertawa atas kelakar suaminya.
“Jadi, langkah apa saja untuk mengajari anak kita untuk punya kemampuan entrepreneur?”
Rinda kembali membaca artikel yang tadi ditutupnya. Sebuah tulisan yang menarik tentang kemampuan memberi dasar berpikir dan bertindak mandiri sedari dini. Poin pertama yang diibacanya mengenai menyiapkan anak-anak sehingga memiliki jiwa entrepreneur:
Mampu mengelola uang sendiri, meski jumlahnya sedikit. Seorang anak harus bisa mengelola uangnya sejak berjumlah sedikit, agar tak kewalahan dan atau bingung saat mendapat banyak uang. Berikan pemahaman dengan baik bahwa uang boleh dihabiskan untuk bersenang-senang namun jangan pernah lupa untuk menabung. Siapkan dua buah celengan: satu untuk uang yang bisa dihabiskan untuk membeli jajan, misalnya. Sedang satu celengan yang lain lagi untuk ditabung untuk keperluan di masa mendatang.
“Menyimpan uang yang diberikan secara cuma-cuma atau kita perlu melatih anak kita untuk ‘bekerja’ sebelum mendapatkan apa yang ia mau?” tanya Heru.
“Kalau kakek nenek dan tante omnya memberi uang cuma-cuma tentu kita enggak bisa menolak. Ya, kan? Tapi tentang melatih bekerja sebelum mendapat ‘upah’ itu sepertinya perlu juga, ya?” kelakar Rinda pasti.
“Kita bisa meminta anak mencabut rumput di taman, atau membantu mengeringkan cucian piring untuk mendapatkan bayaran. Setelah anak kita mendapatkan ‘upah’, ajari mereka untuk menabung, atau membelikan uang itu untuk keperluan yang benar-benar penting.”
Heru mengangguk. “Meski kita tak harus menerapkan itu pada semua hal, sesekali saja, setidaknya anak kita tahu bahwa dibutuhkan sebuah usaha untuk mendapatkan sesuatu.”
“Yeap,” sambut Rinda penuh sepakat. Ia kemudian menjelaskan poin berikutnya bahwa penting juga melatih anak untuk bertanggung jawab atas uang yang diserahkan pada mereka. Contoh gampangnya uang saku. Memberikan kepercayaan uang saku selama seminggu untuk dikelola sendiri merupakan salah satu bentuk melatih anak memiliki jiwa entrepreneur.
“Intinya adalah belajar mengelola keuangan sejak kecil,” Rinda melanjutkan penjelasannya.
“Mereka akan belajar bertanggung jawab. Kemampuan dasar ini sangat penting dan merupakan tanggung jawab orangtua untuk mengajari anak-anaknya bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan mereka sendiri.”
Poin berikutnya adalah mendukung hobi si bocah, dan membantunya berjualan bila memungkinkan. Bila si bocah demen menguprek resep di dapur, ibu bisa membantunya membuatkan donat dengan hiasan menarik lalu membantunya menjualnya baik di sekolah atau menawarkan dagangan itu saat arisan di rumah.
Dari belajar berjualan, anak juga mulai bisa diajari memberikan pelayanan terbaik, yaitu bersikap ramah, tak pelit senyum, dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
“Tentang entrepreneur pada anak berikutnya adalah mengajar berpikir out of the box. Apalagi sekarang penggunaan media sosial di internet semakin marak. Kenapa tidak mengajari anak-anak menggunakannya dengan tetap diawasi?” tanya Rinda.
“Benar juga,” sepakat Heru. “Ketimbang anak kita merengek minta squisy atau mainan yang mahal-mahal karena melihat Instagram, sekalian saja ajari mereka untuk berjualan di Instagram.”
“Enggak harus jualan juga, sih,” kata Rinda. “Bisa saja mengunggah gambar di Instagram dengan tema feed yang sudah ditentukan – juga untuk menghindari ekspos foto anak berlebihan di media sosial, ya kan? Oh iya, anak kita hobi fotografi, kan? Meski hasil jepretannya masih jauh dari sempurna dan belum bertema, kayaknya bagus juga untuk kita buatkan Instagram khusus untuk memajang hasil karyanya.”
“Boleh, setuju.”
“Yang terpenting dari ini semu, dalam entrepreneur pada anak sebenarnya adalah lebih pada melatih anak bertanggung jawab di dirinya sendiri. Pun, memiliki kemampuan mengelola keuangan sejak kecil.” Rinda mengangkat bahu.
“Paling tidak, saat lebaran dan diberi banyak ‘salam tempel’ oleh nenek kakek dan om tante, pikiran mereka tidak hanya tentang: jajan apa nih, mumpung duitnya banyak. Tapi, juga mikir: aku harus menabung, karena aku ingin… apa gitu.”
“Setuju, Say, setuju. Nanti kita lakukan bersama-sama, ya? Demi kebaikan anak kita kelak di masa depan.”