Usai menyimak buku bacaan yang salah satunya membahas tentang meningkatkan kinerja dan karier, Reni agak terkejut mendapat kabar kalau Vika sudah tidak lagi bekerja. “Heh, yang bener?”
Vika yang ditemui di teras depan rumah itu nyengir. Lalu, mengangguk. “Bener, Ren. Yaa, namanya juga fresh graduate. Eh, maksudku, mumpung masih fresh graduate. Boleh coba-coba kerja di banyak tempat, kaan? Mumpung masih numpang di rumah orang tua dan belum punya banyak tanggungan kayak anak gitu. Hi-hi.”
“Yee, nggak bisa begitu juga kali.” Reni menarik ujung hidung Vika yang mancung. Mereka dulu sahabatan sewaktu masih duduk di bangku kuliah. Selepas kelulusan, Reni pindah ke Surabaya untuk merantau dan bekerja. Sementara Vika tetap di Yogyakarta. Hampir setahun berpisah, mereka hanya ketemuan saat libur lebaran. Hari ini kebetulan Reni sedang pulang karena long weekend. Ia mengontak Vika mengajak ketemuan. Vika mau diajak ketemuan tapi di rumah saja. Sewaktu ditanya alasannya, ternyata Vika bokek. Punya duit tapi tak banyak-banyak amat. “Maklum pengangguran,” katanya.
Dari penjelas ‘maklum pengangguran’ itulah Reni penasaran. Saat mereka ketemu, akhirnya ia menanyakan kejelasan tentang perihal pengangguran tersebut.
“Ya, gitu, deh,” lanjut Vika. “Sebagai lulusan anyaran alias fresh graduate, aku agak malas kalau kudu merintis karier dari bawah. Penginnya langsung naik jabatan paling tinggi, gitu. He-he-he.”
“Yee. Memang kudu gitu jalannya. Dari bawah dulu, baru kemudian naik ke atas.” Reni diam sebentar. Menimbang-nimbang apa sebaiknya ia membagi tips tentang meningkatkaan kinerja pun karier yang pesat pada kawannya.
Ragu sejenak, akhirnya Reni memutuskan untuk membagi saja. Toh, tak ada ruginya berbagi dengan kawan sendiri. “Kamu pengin tahu sesuatu, nggak?”
“Heh?” Kedua mata Vika berbinar. “Sesuatu apa? Ya mau tahu banget, dong. Gimana?”
“Tips ini pas banget buat kamu yang pemalas… Eh, buat lulusan anyaran alias fresh graduate,” kata Reni sambil nyengir. “Tapi, bisa juga buat karyawan senior biar nggak kalah sama karyawan yang baru-baru. Karena ini terkait dengan meningkatkan kinerja dan karier.”
“Iyaa. Teruus apaaa tipsnya…?” tanya Vika tak sabaran.
“Penting, nih. Jaga hubungan baik.”
“Jaga hubungan baik sama bos atau pimpinan?”
“Itu iya, tapi jangan cuman sama bos. Lama-lama ntar kamu bisa jadi penjilat,” timpal Reni. “Jaga hubungan baik itu berlaku untuk semua orang yang bekerja di kantor atau tempat yang sama. Sapa atau kasih salam nggak hanya untuk bos. Tapi, sapa dan salam juga perlu diberlakukan untuk teman sesama karyawan. Bahkan untuk OB juga, lho. Karena tanpa mereka kerja kamu bakal pontang-panting. Oiya, jaga hubungan baik dengan satpam juga penting. Siapa tahu pas kamu lembur dia bisa minta tolong ditemani.”
“Aku sudah sering menyapa mereka, sih,” gumam Vika.
“Oke. Good. Bagus.” Reni mengacuungkan kedua jempolnya ke udara. “Berikutnya yang juga nggak kalah penting adalah tahu apa, sih, kelemahannya akuu…! Yup, selain kudu tahu kelebihan, kamu juga perlu banget tahu apa kelemahan yang ada dirimu. Tahu kelebihan itu bagus, bisa untuk menaikkan karier dengan cepat. Tapiii…, tahu kelemahan juga nggak kalah penting. Dengan tahu kita kurangnya di mana, kamu bisa mencari solusi. Kalau solusi sudah ketemu, jalankan. Yakin, deh, dari kelemahan yang diatasi bisa menjadi kelebihan yang ngedongkrak karier ke depannya.”
“Kelemahanku nggak sabaran dan terburu-buru pengin naik jabatan kayaknya, ya.”
Reni hanya menjawab pertanyaan Vika dengan cengiran. “Masih mau tahu tips berikutnya sehubungan dengan meningkatkan kinerja dan karier ini, nggak?”
Vika mengangguk-angguk.
“Berani belajar hal yang baru. Pernah ngebayangin, nggak, kalau belajar sesuatu hal yang berbeda itu tantangan yang asyik?”
Vika menggeleng.
“Berarti sudah saatnya kamu mencoba. Belajar hal yang berbeda yang bahkan nggak ada hubungannya sama karier kamu itu penting, lho. Niatin untuk menambah ilmu dan pengalaman aja, yak.”
“Yaak…!” jawab Vika semangat. “Ntar aku coba setelah dapat pekerjaan baru. Wk-wk-wk.”
“Wk—wk-wk…,” Reni ikut tertawa, setelah itu melet lidahnya. “Berikutnya, nih. Berani minta maaf kalau memang melakukan kesalahan. Hayoo… berani, nggak?”
Vika pura-pura menuang air teh ke dalam gelas saat ditanya barusan.
“Nggak apa-apa banget, lho. Mengakui kesalahan kalau memang sudah melakukan hal yang nggak benar. Risikonya bisa baik, bisa buruk. Tapi, tahu nggak, sih? Dengan berani mengakui kesalahan sebenarnya kamu setingkat lebih baik – atau malah naik level – karena akhirnya memahami betapa pentingnya tanggung jawab?”
“Oh, gitu, ya?” timpal Vika manggut-manggut. “Ada lagi, nggak?”
“Yaa, kurang lebih begitu, sih. Intinya, sebagai bagian dari meningkatkan kinerja dan karier, maka berlaku baik di tempat kerja itu satu keharusan. Tunjukkan kreatifitas dan potensi diri. Jangan ngeyel dan sok tahu. Jadilah seorang pendengar – mendengarkan orang lain dengan baik terlebih dulu. Barulah kemudian milikilah kemampuan menyampaikan pendapat. Jangan lupa, tanggung jawab. Jangan jadi jarkoni.”
“Apa, tuh, jarkoni?” tanya Vika tak mengerti.
“Bisa ngajar tapi nggak bisa nglakoni – alias bisa ngajarin tapi nggak menjalankan ajarannya itu. Atauuu…. isa ujar tapi ora isa nglakoni.”
“Omdo atau omong doang, yak?”
“Ha-ha-ha. Iya, banget. Jangan jadi orang kayak gitu kalau mau naik pangkat dengan cepat.”