Menghendaki anak menjadi pengusaha yang mandiri dan sukses bisa jadi masih jarang ada di benak orangtua di seputar kita. Sebaliknya, menggadang-gadangkan anak menjadi tentara, polisi, pilot, pegawai negeri, guru, ataupun pegawai pemerintahan lainnya teramat mudah kita jumpai.
Tak bisa dinafikan, karena semua yang tersebut di atas memiliki harapan masa depan hari tua yang baik, dana pensiun misalnya. Namun, jika ditelaah lebih jauh, di era millenial ini, ada banyak kemungkinan lain yang bisa kita taruh sebagai harapan kepada anak. Apabila anak memang hobi bermain sepakbola, tentu sebagai orangtua bijak akan memupuk dan mengarahkannya. Toh gaji pemain bola itu tak sedikit jumlahnya. Atau jika anak memiliki kegemaran bermain komputer, tentu ada banyak ruang digital yang bisa didalami. Menjadi programmer, security system, digital marekting, dan masih banyak lagi.
Masih bingung perihal pensiun di hari tua? Saat ini kekhawatiran semacam itu sepertinya sudah tak layak lagi diperdebatkan. Karena ada banyak tempat yang bisa dijadikan sebagai tabungan hari tua guna dana pensiun kelak. Bukankah menjadi pegawai negeri pun sejatinya hakikat dana pensiun itu adalah juga hasil potongan upah dari pegawai itu sendiri?
Dunia memang penuh ketidakpastian, maka ia disebut fana. Karenanya tak salah ketika kita selalu berlomba dalam kebaikan, salah satunya menuntut ilmu, berusaha mendapat pendidikan layak, bahkan hingga jenjang tinggi. Hanya saja, dengan biaya tak sedikit pada sektor pendidikan ini pula, tak jarang orangtua menghendaki anaknya langsung bisa menempati posisi-posisi enak. Iya, itu tidak keliru, namun bukan berarti bisa dibenarkan. Karena yang dibutuhkan dalam menjalani hidup adalah perjuangan pelaku itu sendiri, sama sekali bukan orangtuanya.
Daftar Isi
Ya, meski telah masuk di era digital, namun kalimat tanya di atas menjadi deretan huruf yang masih layak dirangkai dan kemduian dipertanyakan kepada banyak orangtua di seputar kita. Di bawah ini adalah beberapa hal yang bisa kita jadikan bahan ulasan, agar kita, sekara pun kelak, saat menjadi orangtua bagi anak-anak kita, tak terjebak di dalamnya.
Keluarga kelas menengah ke atas tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan memadai soal dunia finansial. Tak pelak hal tersebut menjadi penyebab mereka untuk enggan memahami persoalan kewirausahaan yang lebih rumit ketimbang persoalan finansial itu sendiri. Persoalan finansial hanyalah salah satu aspek yang terlibat diseputar kewirausahaan.
Walaupun bisnis sudah berkembang, seorang pebisnis akan terus mengembangkan usaha yang sudah dirintis dan dibesarkannya, karena mereka menyukai tantangan. Anggapan orang adalah bahwa keluarga para pengusaha banyak yang amburadul. Padahal jika diselisik lebih jauh, berdasar data statistik angka perceraian justru yang paling tinggi ada di kalangan pegawai kantoran atau karyawan.
Manusia memiliki batasan umur dan tenaga, hal itulah yang membuat mereka enggan mengajarkan kewirausahaan kepada anaknya. Karena mereka sadar tidak selamanya bisa mendampingi anak. Menjadi pengusaha harus siap menghadapi masalah dibanding manusia biasa pada umumnya. Seperti itulah kecenderungan pemikiran beberapa orangtua yang enggan jika sang anak menjadi pengusaha.
Adanya orang tua yang menganggap penilaian orang selalu benar. Orang tua semacam ini tak punya independensi dan cenderung plin-plan. Jika masyarakat menganggap kuliah dan menjadi pegawai disebuah perusahaan adalah hal yang lebih bagus, maka dia akan memaksakan anak-anaknya memilih jalur tersebut. Jika masyarakat menganggap menjadi pengusaha adalah terhormat maka dia akan memilih anaknya menjadi pengusaha.
Orang tua memandang buruk kompetensi anak. Hal ini karena orang tua yang tidak punya semangat untuk belajar. Tidak punya kompetensi serta gagal dalam mengarungi kehidupan sebagai manusia dan makhluk sosial, sehingga memandang anak-anaknya juga serupa buruknya dengan dirinya. Orang tua semacam ini menolak memberi anak-anaknya fasilitas. Pesimis terhadap kemampuan anak, sehingga menciptakan suasana sosial sedemikian rupa agar anak-anaknya hancur kepercayaan diri dan kredibilitasnya hanya karena gagal sebagai orang tua.
Ada anggapan bahwa pebisnis itu sifatnya buruk, egois, keras kepala, tak punya empati dan simpati, asosial, pelit dan dingin. Segala sesuatunya dipandang berdasar uang. Pola pikir dan pandangan semacam ini juga menjadi sebab para orangtua tidak memiliki harapan agar anak menjadi pengusaha.
Demikianlah beberapa hal yang menghambat anak menjadi pengusaha. Dengan menyimaknya, terlepas menghendaki menjadi pengusaha ataupun tidak, semoga hal ini memberi manfaat dan dapat membukakan pola pikir bagi orang tua untuk kemudian memberi kemerdekaan kepada anak-anaknya lebih berkembang lagi. [het]