MEMBAHAS tips dan trik usaha dari sosok yang karya-karyanya telah berhasil diakui publik, beberapa waktu lalu admin AKUNbiz mengadakan wawancara dengan Desi Puspitasari, cerpenis dan novelis yang dua tahun belakangan bersama tim JARINGPROject juga menjadi penulis naskah pemanggungan untuk pementasan teater.
Perihal karya cerpen, novel, dan cerber (cerita bersambung), sosok perempuan asal Madiun ini bisa jadi sudah tak diragukan lagi kemampuannya. Karena selain karya-buku novelnya telah diminati banyak pembaca, beberapa rumah produksi juga pernah membuatkan film dari karya-karyanya, baik berupa layar kaca ataupun layar lebar. Namun tak berhenti di situ, latar belakang yang telah menggiringnya untuk masuk di dunia seni aktor dan teater pada akhirnya juga menuntutnya untuk mampu meneruskan karya tulis –yang tak terhenti sebatas pada berhelai kertas. Panggung pertunjukan menjadi tantangan selanjutnya.
Jika mengamati ada lebih dari empat buku-novel karyanya telah terbit dalam dua tahun terakhir ( 2016 dan 2017) –sebut saja “Jogja Jelang Senja”, “Alang”, “Membunuh Cupid”, dan “Mimpi Kecil Tita”– maka dalam waktu bersamaan, dua kota (Surakarta dan Jakarta) juga telah menjadi saksi bisu dalam mempertontonkan karya Desi Puspitasari bertajuk “Menjaring Malaikat.”
Lalu bagaimana kiat ataupun tips dan trik usaha Desi Puspitasari dalam mengelola karyanya sehingga meski jauh dari orangtua toh ia tetap mampu mendapatkan apresiasi dari publik? Di bawah ini, sila simak hasil interview-nya.
Daftar Isi
Halo, AKUNbiz, salam kenal kembali ya. Senang bisa ketemu dan ngobrol-ngobrol. Aku di Yogya mulai tahun 2002, dan yup untuk kuliah. Berarti sudah 15 tahun aku tinggal di sini, ya.
Pertama tinggal di luar kota dan jauh dari keluarga memberi pengalaman berharga, apalagi perihal mengatur keuangan. Saat sekolah di Madiun, tak pernah mikir tentang urusan makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena memang sudah tersedia di rumah. Uang saku juga kalau kurang tinggal minta lagi sama orangtua (hehe…). Tapi ketika sudah tinggal di Jogja, aku harus mengelola sejumlah uang yang diberikan bulanan oleh orangtua. Cukup enggak cukup ya harus cukup. Meski kadang kalau kurang masih bisa minta lagi ke orangtua, sih. Haha…
Boleh dibilang dulu aku cenderung boros, (ngaku deh, hihi..). Terlebih saat menerima penghasilan sendiri dari menulis. Waktu itu, aku masih kuliah tapi sudah mendapat royalti dari cetak ulang buku sebanyak 7x. Karena enggak tahu –atau lebih tepatnya abai kali ya– tentang pembukuan ataupun pengaturan keuangan. AKUNbiz kan juga belum lahir tah waktu itu? Hihi. Jadinya duit yang kudapat itu ya aku gunakan untuk bersenang-senang. Makan dan traveling ke luar kota, aku jabanin dengan uang sendiri. Pokoknya aji-mumpung gitu deh 😛
Iya. Karena di Yogya link-nya banyak. Dari colekan satu teman di salah satu kegiatan saja, bisa membuka jalan untuk masuk atau bergabung dengan sebuah komunitas atau terlibat di salah satu event kesenian di Yogya. Coba kalau di Madiun. Aku merasa di sana sepi link dan tidak banyak yang bisa dieksplorasi (terlebih pada tahun-tahun sekitar 2002 – 2010-an). Kalau pun bertemu dengan orang, paling-paling ya hanya ketemu orang yang itu-itu saja. Bukan orang baru yang benar-benar bisa menjadi nilai tambah “pembaharuan” pada diri kita. 🙂
Di Jogja aku bisa menjajal apa saja sampai kapanpun aku mau. Di Jogja pula, aku bisa ketemu teman yang bisa nyambung kalau diajak diskusi, yang itu juga menjadi bagian bahanku dalam menulis. Lha kalau di Madiun, mungkin sekarang ini aku sudah menjadi ibu-ibu dasteran, anak dua, dan pekerjaannya menggosip dengan tetangga tiap sore kali ya. Opsss, hihihi…
Honor pertama pada tahun 2006 atau 2007 berapa ya? Lupa aku. Yang pasti cukup buat beli nasi kucing 10 grobak lah, hihi… Buat apa? Dihambur-hamburkan untuk beli buku, jajan, traveling, dan beli berol-rol film kamera SLR (plus afdruknya – waktu itu belum jamak kamera digital).
Enggak tahu, suka aja kali ya. Kayaknya aku enggak memiliki keahlian lain, kecuali menulis. Ya, aku pikir, karena bisa menulis, maka aku tekuni saja biar jadi ahli. Kan, katanya; “Orang bisa itu ada banyak, tapi orang yang ahli hanya segelintir.”
Eh aku pernah menekuni fotografi, sih. Tapi sepertinya itu hanya mandek sekadar hobi saja.
Dulu sih, meski sudah punya penghasilan sendiri, uang bulanan untuk hidup di kos masih ditanggung orangtua. Nah, pas sudah enggak ditanggung, agak kerepotan lagi nih mengatur uangnya. Karena, well, pendapatan honor dari menulis itu sama sekali enggak bisa dipastikan. Bisa banyak, sering juga enggak ada pemasukan sama sekali.
Membaginya ya sesuai kebutuhan aja. Waktu itu belum juga terpikir tentang membikin pembukuan kas keuangan sih, ya. Dan uang juga masih luber. Jadi, butuh apa tinggal beli dan ambil uang di ATM atau tinggal gesek di kasir. Tapi melihat semakin ke sini apa-apa harganya cenderung mahal. Aku ngerasa sudah butuh pencatatan pemasukan dan pengeluaran uang nih. Kayaknya duitku lebih sering habis untuk makan dan jajan deh (hehe). Sungguh pengeluaran yang enggak keliatan karena ‘enggak ada’ wujudnya. Dan waktu itu sudah kumulai corat-coret di buku, secara manual lah kucatat pengeluaran itu.
Sedangkan mengenai membeli buku, bisa agak aku tahan dan irit-irit. Salah satu caranya ya dengan pergi ke perpustakaan, pinjam ke teman sesama penulis, atau baca online (banyak kok yang disediakan dalam format pdf). Nah, lagi-lagi, Jogja itu tadi yang menjadi alasanku bertempat-tinggal. Banyak perpustakaan dan juga tempat baca buku.
Bagaimana juga kiat dalam mengatur waktu, di mana ada banyak pekerjaan yang harus di-handle, apalagi ketika deadline sudah semakin ketat?
Aku adalah procrastinator. Semakin ditekan tenggat, semakin bersemangat. Ide banyak bermunculan, adrenalin terpacu kencang, lembur melek berhari-hari enggak butuh kopi. Kalau masih jauh dari tenggat, rasanya kok enggak menantang. Alhasil malas-malasan dulu laah. Hahaha…
Kalau banyak pekerjaan, ya mau enggak mau harus dikerjakan dengan cara mencicil, enggak bisa menumpuk di belakang (duh, sebagai procrastinator aku sedih, haha). Yaa, mana yang butuh cepat ya diselesaikan terlebih dulu.
Hemmm, sebenarnya enggak ada tips dan trik usaha khusus.
Mulanya aku menulis apa yang aku tahu dan suka saja. Saat les bahasa Prancis, aku menulis cerpen bersetting Prancis. Saat les bahasa Jerman, aku menulis cerita tentang orang-orang di Jerman. Juga saat aku belajar bahasa Spanyol. Malah pernah lho pembacaku mengira aku sedang tinggal di Italia. Itali bagian Bojong ngkali yak, hihii…
Oh ya, jangan dikira aku ini enak terus jalannya, lancar dan tak pernah mengalami susahnya dalam menulis ya. Karena tak sedikit kisah yang aku juga harus melewati jalan bersusa-susah itu. Salah satunya adalah ketika aku mau gak mau harus menjelajah ke wilayah yang lebih menantang, yaitu menulis tentang satu hal yang sebenarnya aku sendiri sama sekali tidak tahu. You can imagine? Nah, menjadi keharusan aku untuk belajar lebih, bukan? Kudu mencari informasi lebih yang sebelumnya aku minus pengetahuan itu, tah? Dan tentu saja setelah itu kudu mengolahnya kembali, supaya maksud cerita dan maksud pengarang bisa ditangkap pembaca (padahal enggak bisa ditangkap pun enggak apa-apa, sih, haha…).
Oleh sebab cara membaca fiksi (sebagai modal aku menulis cerpen dan novel) berbeda dengan cara membaca karya non-fiksi. Maka akupun harus menguasai atau setidaknya memahami terlebih dulu tentang ‘materi’ yang aku tulis. Bila sudah paham, tentu aku akan lebih mudah menuliskannya, dan pastinya pembaca juga akan mudah mencerna/menerima dan menangkap maksud cerita. Atau, minimal bisa menikmati jalan ceritanya.
Untuk promosi… wah, hari gini kudu gencar promosi, nih. Kalau enggak, persebaran buku kurang maksimal. Untuk itu aku bekerja sama dengan beberapa blogger dan bookstagrammer. Atau AKUNbiz mau juga kah membantu promosi karya-karyaku kelak? Hahaha, ngareuppp. 🙂
Hemmm, kuncinya ataupun tips dan trik usaha-nya apa ya. Intinya, berusahalah menjadi berbeda! Caranya yaitu dengan menjadi diri sendiri!
Untuk tahu kamu berbeda, tentu harus mengetahui ‘produk’ apa saja yang sudah ada di pasaran. Lalu, saat membikin produk baru, berikan diferensiasi supaya produk kamu tak menjadi produk jamak atau produk yang sama kayak yang lainnya. Misal yang pernah aku lakukan, untuk novel The Strawberry Surprise saat ditawari menulis romance oleh editor, aku langsung terpikir untuk membikin tokoh prempuan yang menyebalkan (waktu itu aku berpikir sepertinya masih jarang tokoh perempuan menyebalkan dalam cerita romance sejauh yang pernah aku baca). Hasilnya, novel stroberi tersebutlah yang dipilih untuk difilmkan ketimbang seri romance lain.
Lalu tips dan trik usaha lainnya setelah menemukan poin diferensiasi, lakukan proses kreatif itu dengan caramu sendiri. Seumpama kamu berkarakter manis, ya kerjakan diferensiasimu dengan cara yang manis. Bila kamu bengal, olah diferensiasimu dengan cara bandel.
Selanjutnya, mengenai tips dan trik usaha dan karyamu, apapun jenisnya itu, supaya bisa diterima khalayak, kamu ya harus melakukan sedikit kompromi namun harus juga harus berkeras kepala.
“Sah berkeras kepala, bisa berkompromi bila tepat pada waktunya!”
Artinya kamu bisa berkeras-kepala terhadap nilai-nilai yang hendak kamu masukkan ke dalam ‘produk’-mu. Tapi juga tidak kaku dan tetap fleksibel ketika produk tersebut dilempar ke publik, apalagi ketika mau tak mau harus memerlukan sedikit perubahan dan adaptasi (atau mudahnya; penyesuaian terhadap selera pasar).
Itulah sedikit tips dan trik usaha awal untuk menjadi “berbeda.” Kemudian terlepas dari itu, yang tahu menyeimbangkan bagaimana bisa berbeda dengan cara menjadi diri sendiri, tak lain adalah diri kita sendiri. So, langkah paling enak sebenarnya adalah dengan soul bermain-main secara asyik dalam melakukan proses kreatif.
Eits, tapi jangan salah persepsi yaaaa… Jadi, hanya sebatas soul-nya saja yang bermain-main. Sedang perihal tujuan dan langkahnya ya harus tetap bersungguh-sungguh, sama sekali bukan main-main. Sehingga jatuhnya juga akan menyenangkan.
Last but not least (macak motivator, hehe…), Ingat, hasil tak akan pernah bohong. Maka ketika memang belum ada hasil sesuai yang diinginkan, ya jangan pernah menyerah! Titik.
[uth]